Takut
dengan partai lokal?
Author :
J. Kristiadi
Menolak secara prinsipiil kehadiran partai lokal adalah melawan kodrat.
Menolak secara prinsipiil kehadiran partai lokal adalah melawan kodrat.
Isu partai politik lokal muncul
kembali ke permukaan seiring dengan hampir finalnya draf perundingan Pemerintah
RI-GAM di Helsinki, Finlandia. Dari serangkaian konsensus yang telah dicapai
kedua pihak, tuntutan GAM mendirikan partai politik lokal adalah isu yang
dianggap krusial karena dapat mengancam perundingan menjadi macet. Atau
setidaknya hasil perundingan dianggap tidak maksimal.
"<strong> readmore</strong>".
"<strong> readmore</strong>".
Sejauh yang dapat dipantau melalui
media, alasan pemerintah menolak pendirian partai lokal disebabkan UU Nomor 31
Tahun 2002 tentang Partai Politik masih belum memungkinkan terbentuknya partai
lokal.
Dengan mengabulkan tuntutan itu,
dikhawatirkan akan berakibat negatif: pertama, pemerintah akan melanggar
undang-undang. Kedua, akan banjir tuntutan dari daerah untuk membentuk partai
lokal akibat sikap partai politik yang dewasa ini amat sentralistis. Hal ini
dapat dicermati dalam pengusulan kandidat kepala daerah. Hampir semua DPP
partai politik mengharuskan DPC/DPD yang mencalonkan kepala daerah untuk
konsultasi dengan DPP. Pada praktiknya, DPP yang akhirnya menentukan siapa
kandidat yang disetujui maju dalam pilkada.
Partai lokal dan separatisme
Sementara itu, kalangan tokoh
politik mengkhawatirkan munculnya partai lokal dapat mendorong munculnya atau
menguatnya aspirasi separatisme. Alasan itu mengada-ada sebab separatisme akan
timbul bukan karena eksistensi partai lokal, tetapi karena ketidakadilan, kesewenangwenangan,
tersumbatnya aspirasi di suatu wilayah, dan segala bentuk penyalahgunaan
kekuasaan lainnya.
Beberapa provinsi seperti NAD dan
Papua pernah meneriakkan kemerdekaan bukan karena hadirnya partai politik
lokal. Alasan utama, meski kedua wilayah itu sudah puluhan tahun menjadi bagian
dari NKRI, mereka bukan saja merasa nasibnya terabaikan, tetapi mengalami
penindasan oleh pemegang kekuasaan.
Sebaliknya, kehadiran partai politik
lokal justru dapat dijadikan kanalisasi dan instrumen bagi masyarakat di daerah
untuk menyalurkan aspirasi mereka. Aspirasi kemerdekaan harus dijawab dengan
kebijakan menyeluruh sehingga semua wilayah merasakan keadilan dan kemakmuran
sebagai roh yang dapat mengikat semua warga masyarakat.
Selain itu, untuk mengantisipasi
aspirasi kemerdekaan, dalam UU partai politik yang baru tegas dinyatakan tegas,
partai politik lokal dilarang mempunyai tujuan memisahkan diri dari NKRI.
Tak dapat ditawar
Karena itu, eksistensi partai
politik lokal dalam perspektif transformasi politik yang saat ini sedang
berlangsung merupakan conditio sine qua non, sesuatu yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Ibarat matahari terbit dari timur, sesuatu yang secara
alamiah akan dan harus terjadi karena hal itu merupakan bagian dari proses
demokratisasi. Keniscayaan hadirnya partai politik lokal berkaitan dengan dua
alasan pokok.
Pertama, masyarakat Indonesia yang
plural dan wilayah yang amat luas harus mempunyai instrumen politik yang dapat
menampung seluruh aspirasi masyarakat daerah. Partai politik berskala nasional
tidak akan dapat menampung dan mengagregasikan kepentingan rakyat di daerah
yang sedemikian beragam. Lembaga seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang
berfungsi sebagai institusi yang mewakili wilayah dalam proses pengambilan
keputusan di tingkat nasional, tidak cukup memadai. Lebih-lebih dewasa ini
peran dan fungsinya masih dimandulkan oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Kedua, dengan diselenggarakannya
pemilihan kepala daerah langsung, seharusnya masyarakat di daerah harus diberi
kesempatan membentuk partai lokal agar calon-calon kepala daerah benar-benar
kandidat yang mereka kehendaki. Tidak seperti praktik yang selama ini terjadi,
kepentingan masyarakat lokal harus disesuaikan dan tunduk dengan kepentingan
elite partai di Jakarta.
Ketiga, tidak kalah penting,
kehadiran partai lokal dapat mendorong proses demokratisasi internal partai
politik.
Sementara itu, hambatan perubahan UU
partai politik yang diperkirakan paling besar adalah apakah DPR, yang selama
ini dirasakan lebih merupakan wakil partai daripada wakil rakyat, bersedia
mengurangi dominasinya dengan menampung dan mewujudkan tuntutan melakukan
perubahan atas UU No 31 Tahun 2002.
Kepekaan program
Keraguan ini didasarkan pada
pencermatan atas sensitivitas lembaga perwakilan yang kadang kedap terhadap
aspirasi yang berkembang di masyarakat serta mengesankan kurang punya kepekaan
terhadap program urgensi.
Dalam hal ini, tidak usah mencari
contoh jauh-jauh, ngototnya sebagian besar anggota parlemen menuntut kenaikan
gaji, meski diprotes dan diledek masyarakat, tetapi hasrat itu tidak
direkonsiderasi untuk ditunda. Seandainya diperlukan kenaikan gaji, apakah
tepat dilakukan saat masyarakat hampir sekarat karena kesulitan memenuhi
kebutuhan pokoknya. Singkatnya, kepentingan yang melekat, vested interest, dari
para anggota parlemen merupakan hambatan utama.
Hambatan itu tidak dapat dibiarkan
dengan menunggu munculnya kearifan dan kepekaan anggota parlemen. Masyarakat
harus melakukan tekanan agar aspirasi dapat ditampung dan diwujudkan. Sebab,
menolak secara prinsipiil kehadiran partai lokal adalah melawan kodrat.
Oleh karena itu, GAM harus sedikit
lebih sabar karena apa yang mereka tuntut sama dengan tuntutan seluruh warga
masyarakat. Pemerintah sendiri tampaknya menolak tuntutan kehadiran partai
lokal bukan karena alasan substansial, tetapi alasan yuridis formal yang harus
ditaati. Dengan demikian, kini bola ada di parlemen. Mudah-mudahan momentum ini
menjadi awal terjadinya perdamaian abadi di Provinsi NAD.
Sumber :
Kompas