Warisan Leluhur Aceh di Nusantara
Oleh Nia Deliana
Bukan suatu hal yang mengejutkan jika kita menemukan warisan sejarah lokal menjadi salah satu pendongkrak kemajuan negeri orang. Terlepas dari kisruh hak cipta warisan budaya Indonesia yang diklaim atas kepemilikan negara lain, kita ternyata belum bisa mencegah peninggalan-peninggalan penting lainnya yang masih dalam proses perpindahan tangan. Oman Fathurrahman, seorang pakar filologi pernah menulis bahwa siapa pun tak bisa disalahkan ketika kita kehilangan jejak warisan dan budaya. Itu dikarenakan minimnya pendidikan dan kesadaran sosial untuk memelihara peninggalan sejarah yang ada. Contohnya dapat dilihat dari sikap tak mau tahu kita terhadap perpindahan manuskrip lokal ke negeri lain.
"<strong> readmore</strong>.
Tidak seperti Indonesia atau Aceh secara spesifik, museum-museum di Malaysia dan Singapore termasuk dalam kategori museum paling menarik di Asia Tenggara. Salah satu faktor yang membuat museum-museum ini memikat adalah jumlah harta peninggalan zaman dahulu dan variasi koleksinya yang terbilang tinggi.
Salah satu warisan yang melengkapi museum tersebut adalah koleksi warisan sejarah Aceh. Saya ingat ketika mengunjungi sebuah museum di Singapura, yang terbentang di depan sungai dan hotel Marine Bay Sands atau tepatnya berlokasi di jalan Empress. Perhiasan-perhiasan putroe bangsawan Aceh yang tidak jelas pemiliknya itu terpampang secara elegan dalam sederetan lemari transparan. Di antara perhiasan tersebut ada seurapi, kalung emas dengan sembilan bandul dan sepasang gelang emas tebal yang ditemukan sekitar tahun 1900-an. Selanjutnya adalah sepasang anting yang dibuat sekitar abad ke-9.
Ketiga perhiasan ini merupakan hadiah dari Nyonya Anne Wee. Selain itu, terlihat juga jenis hat finial atau hiasan kepala dan gelang jala berangka abad 9, yang disebut sebagai sumbangan dari Tuan Edmond Chin. Melihat latar belakang kedua nama tersebut, sepertinya kita bisa mengira bagaimana perhiasan-perhiasan ini berpindah tangan.
Menurut catatan museum, perhiasan-perhiasan ini diproduksi dengan menggunakan teknik pembutiran, sehingga menghasilkan fitur emas yang inovatif. Di samping itu, diterangkan juga bahwa teknik pengolahan perhiasan emas tersebut dipengaruhi oleh kontak international Aceh dengan dunia Islam seperti Mughal India dan Turki Ottoman.
Di museum yang sama, sebuah meriam berukir terlihat di salah satu kotak kaca lainnya. Di bawah meriam tersebut diuraikan tentang popularitas penggunaan meriam di Nusantara sejak abad ke-16. Meriam yang seperti terlihat dalam gambar diperkirakan berada sekitar abad 17-19. Dalam penjelasan tersebut, ditambahkan pula bahwa selain Brunei dan Makassar, Aceh termasuk salah satu kiblatnya produksi meriam.
Lebih menarik lagi, terlihat gambar seorang pengantin Aceh yang mengenakan perhiasan emas dengan kostum warna terang bergaris horizontal. Kostum yang menurut saya tidak biasa barangkali dipakai oleh rakyat Aceh wilayah selatan atau tengah. Bagaimanapun, tidak ada penjelasan khusus mengenai kostum tersebut, begitu juga dengan kapan foto hitam putih tersebut diambil.
Tidak hanya jenis warisan materi seperti ini. Dalam koleksi peninggalan warisan budaya Melayu yang lebih dikenal dengan sebutan Istana Kampong Gelam atau Malay Heritage Museum yang terletak berdekatan dengan Masjid Sultan di Arab Street Singapura, beberapa paragraf literatur sajak berbahasa Aceh yang ditulis pada tahun 1824 juga bisa disaksikan dengan jelas.
Di sisi lain, saya ingat beberapa tahun yang lalu, ketika saya kerap mengunjungi Pasar Aceh. Seorang lelaki kurus dan bersahaja berumur sekitar 40-an menjajakan berbagai harta mirip peninggalan masa penjajahan seperti senapan, pedang kuno dengan berbagai jenis ukuran dari 0,5 hingga 2 meter, macam macam rencong, dan peralatan-peralatan upacara adat yang terbuat dari perak dan celupan emas. Dari semua barang yang dipamerkan, ada satu pasang senapan laras pendek Belanda yang menurut saya cukup menarik dengan warnanya yang gelap dan kusam serta pemetiknya yang rusak. Senapan itu memiliki ukiran yang indah yang tak begitu jelas lagi garisannya. Di tubuh bagian bawah senapan itu bertuliskan VOC 1606. Jika Anda menanyakan keasliannya, hanya penjualnya yang mampu menjawab. Tapi, jika memang ada kemungkinan palsu, bukankah itu berarti juga ada kemungkinan asli, mengingat sebagian barang tersebut merupakan titipan dari keturunan Ulee Balang di Meulaboh. Harga barang-barang tersebut berkisar antara Rp 300.000 - 4 juta rupiah.
Sepatutnya, masyarakat kita diajari untuk melindungi harta peninggalan sejarah seperti ini melalui asistensi dari pemerintah. Jika ekonomi adalah persoalan yang membelit pemilik asli harta tersebut, saya pikir pihak yang pertama kali wajib membeli adalah pemerintah. Tidak usah jauh-jauh memikirkan akan dikemanakan barang-barang tersebut, karena pada kenyataannya tidak banyak yang bisa dilihat dari koleksi museum kita hari ini.
Melihat kenyataan seperti di atas, jadi miris jika negara lain mampu berkilau karena kepiawaiannya melestarikan warisan sejarah. Sedangkan pemerintahan dan masyarakat kita masih terseok-seok untuk memahami pentingnya warisan sejarah nenek moyang. Sudah saatnya pemerintah lokal menaruh kepercayaan lebih kepada institusi swasta yang memiliki pakar.
Setelah tsunami, banyak sekolah berbasis lokal dan luar negeri yang didirikan di Aceh. Sekolah-sekolah ini sepatutnya ikut diajak melahirkan ekstra kurikulum yang menitik-beratkan tidak hanya pada sejarah, tapi juga pada seni-budaya Aceh. Hal ini penting bagi ketentuan langkah generasi penerus Aceh di masa yang akan datang.
Penulis adalah alumus Misbahul Ulum Paloh


















.gif)
















