Biografi Hamzah Fansuri Dalam Manuskrip Melayu Lama
Dalam Ensiklopedi umum (1973), disebutkan Hamzah Fansuri
adalah seorang penyair dan ahli tasawuf yang berasal dari Barus, Sumatera.
Aliran
Hamzah Fansuri dalam ilmu tasawuf sangat terpengaruh hingga ke Tanah Jawa.
Hamzah Fansuri banyak terkesan dengan karya-karya serta ketokohan Ibnu
Arabi, Al-Hallaj, Al-Djunaid dan Jajaludin Ar-Rumi karena nama-nama ini sering
disebut dalam kebanyakkan karya Tasawwufnya.
Aliran Hamzah
Fansuri terkenal dengan teori Wahdatul Wujud, di mana faham ini sangat
ditentang oleh Nuruddin Ar-Raniry. Karangannya yang sangat terkenal
adalah Syair Perahu, Syair Burung Pungai, Syair Dagang dan lain-lain (Hasan Shadily
1973: 321).
Mengenai
tanggal lahirnya Hamzah Fansuri masih diperdebatkan hingga hari ini, Ooi
Keat Gin (2004) dalam ensklopedianya menyatakan bahwa beliau lahir
pada fase kedua dalam abad ke-16 di bawah kepimpinan serta kesultanan
Sultan Alaudin Riayat Shah Ibn Firman Shah (1589-1604) (Ooi Keat
Gin. 2004: 560). Drewes dan Brakel (1986) berpendapat yang mengatakan
bahawa beliau hidup hingga zaman kesultanan Iskandar Muda (Mahkota
Alam) yaitu antara tahun 1607 sehingga 1636 masehi.
Berdasarkan
penelitian dan kajian jelas mengatakan bahawa beliau meninggal dunia
antara sebelum atau pada tahun 1590 masehi (Drewes dan Brakel
1986:3). Naquib Al-Attas mengenai tahun kelahiran Hamzah Fansuri,
beliau membawakan beberapa bait syair Hamzah Fansuri yang dijadikan
justifikasi kepada ikhwal kelahiranya, yaitu:
Sjah
‘Alam Radja jang adil
Radja
Qoetoeb jang sampoerna kami
Wali
Allah sampoerna wasil
Radja
arif lagi mukammil
Bertambah
daulat Sjah
Bertambah
daulat Sjah ‘Alam
Makota
pada sekalian Alam
Karoenia
ilahi Rabb al-‘alamina
Menjadi
radja kedoe alam.
Dari
keterangan dan bukti ilmiah yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa
Hamzah Fansuri hidup semasa Sultan ‘Ala al-Din Riayat Syah (1589-1602) atau
pada akhir abad ke-16 sampai abad ke-17 dan diperkirakan Hamzah
Fansuri meninggal dunia sebelum atau pada1016/1607 sesuai dengan bukti-bukti
yang dikemukan oleh Naquib al-Attas (Naguib al-Attas1970:70).
Lebih
tepat lagi Ali Hasmy dalam dokumennya mengatakan bahwa pada akhir pemerintahan
Sulthan Iskandar Muda Meukuta Alam yang wafat pada 29 Rajab 1046 H atau 27
Desember 1636M, Syekh Hamzah Fansuri meninggal dunia di Wilayah Singkel,
dekat kota kecil Rundeng. Beliau dimakamkan di Kampung Oboh Simpang
Kiri Rundeng di Hulu Sungai Singkel. (A. Hasmy 1984:11).
Mengenai
tempat Hamzah Fansuri dilahirkan, kebanyakkan peneliti sepakat beliau berasal
dari Fansur sesuai dengan nama belakangnyayiaitu Fansuri. Fansur adalah sebuah
pelabuhan Pantai Barat di Utara Sumatera antara Singkil dan
Sibolga. Sebagian orang menamakan tempat ini sebagai Fansur tetapi ia
sebenarnya Barus dalam bahasa tempatan (Ooi Keat Gin. 2004: 561).
Berdasarkan
dari karya (Naguib al-Attas 1970:5-8), beliau mempunyai pendapat
berlainan dengan mengatakan bahwa Hamzah pernah menulis dalam syairnya
bahwa beliau lahir di Shahr Nawi (Shah r-i-Nawi) atau Ayutthaya, Thailand.
Tetapi disanggah Drewes dan Brakel (1986) yang mengatakan ini hanya teori
dan kemungkinan Hamzah Fansuri telah menjelajah atau bermusafir
hingga ke Ayutthaya dan menuntut ilmu bersama orang Parsi dan disanalah
Hamzah Fansuri Lahir (Drewes dan Brakel 1986:5).
Untuk
lebih tepat, satu bait syair yang menerangkan tempat dimana kelahiran Hamzah
Fansuri yang berbunyi:
Hamzah
nin asalnya Fansuri
Mendapat
wujud di tanah Shahrnawi
Beroleh
khilafat ilmu yang alu
Daripada
‘Abd al-Qadir Jilani.
Hamzah
Fansuri semasa hidupnya sangat suka menjelajah atau bermusafir ke seluruh
Nusantara dan Tanah Arab, diantaranya Pahang, Ayttuhaya, Mughal India,
Mekkah, Madinah dan juga Baghdad. Hamzah melakukan itu dalam
mengagaskan ilmu wahdatul wujud, beliau sangat terpengaruh dengan
pandangan Ibnu Arabi yang berasal dari Spanyol saat beliau menjelajah ke
Mughal India dan juga Parsi sekitar abad ke-16.
Hamzah Fansuri
saat itu mengajarkan doktrin wahdatulwujud, beliau berada di Aceh
sekitar abad ke-16 yang dipercaya berperan besar dalam politik pada masa
itu dan Aceh juga menjadi pusat Islam yang pesat menggantikan negeri
Malaka yang ketika itu dijajah oleh Portugis pada 1511.
Hamzah
Fansuri banyak dikritik oleh Nuruddin Ar-Raniry (1658). Beliau
mengatakan bahwa Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani yang mengajarkan
wahdatul wujud adalah sesat dan bertentangan dengan apa yang difahami
oleh beliau. Wahdatul wujud sangat ditentang oleh ahli aqidah di India dan
situasi yang sama dibawa ke Aceh dengan mempengaruhi Sultanah Taj al-Alam Safatudin
Shah (1641-1675) untuk membakar dan mengharamkan nama Hamzah Fansuri
dan karyanya. Akibat dari semua itu, nama dan peranan Hamzah Fansuri
banyak tidak kelihatan dalam karya Indonesia seperti Hikayat Acheh (Ooi
Keat Gin. 2004: 561-562). (Sumber:AtjehLINK )