“Sumatra, Peristiwa Selanjutnya”
“Sumatra, Peristiwa Selanjutnya”
dalam buku Brieven uit Sumatra, 1928 – 1949 (Surat-surat dari Sumatera, 1928 –
1949), terbit 1982, karya Dr. J. J. van de Velde.
Tulisan di bawah ini adalah bagian
dari buku Brieven uit Sumatra, 1928 – 1949 (Surat-surat dari
Sumatera, 1928 – 1949), terbit 1982, karya Dr. J. J. van de Velde.
Dalam tulisan ini, Velde menuliskan kisah dari Amir mengenai apa yang terjadi
di Sumatera, khususnya Sumatera Timur/Utara dan Aceh, dalam pertaliannya dengan
Negara Republik Indonesia di Jawa Yogyakarta.
"strong> readmore</strong>.
"strong> readmore</strong>.
Amir yang dimaksud tak lain adalah
dr. Mohammad Amir yang lahir di Talawi, Sawah Lunto, Sumatera Barat kini, pada
1900. Pada 1928, dia lulus dari sekolah Geneeskundige Hogeschool, Utrecht
Universiteit, Belanda, dan memperoleh gelar Arts dan doctor in de medicijn. Selanjutnya
ia menetap di Medan lalu Tanjungpura dan menjadi dokter pribadi Sultan Langkat.
Saat Jong Sumatranen Bond lahir pada
1917, yang didirikan oleh pelajar-pelajar dari Minangkabau, Batak, Aceh,
Palembang, dan Sumatera Timur di Jawa, ia menjadi Sekretaris II, dengan ketua
Tengku Mansoer (kelak menjadi Wali Negara Sumatera Timur), wakil ketua A. Munir Nasution, Sekretaris I Mohamad Anas,
dan bendahara Marzoeki.
Pada perkembangannya, Jong
Sumatranen Bond kemudian bertujuan untuk membentuk ‘nation Sumatera’.
Tapi, gagasan kebangsaan ini mulai menajam kala organisasi diketuai oleh Amir,
bendahara Bahder Djohan, dan bendahara Mohamad Hatta (kelak Wakil Presiden
Negara Republik Indonesia/Yogyakarta, Wakil Presiden Republik Indonesia
Serikat, dan Wakil Presiden Negara Kesatuan
Republik Indonesia Serikat).
Dalam pilihan politiknya, Amir
bergabung dengan Negara Republik Indonesia/Yogyakarta yang dibidani oleh Jepang
melalui pembentukan Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Penyelidik
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang merupakan reinkarnasi dari
organisasi yang dahulu juga dibentuk Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai
atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Melalui organisasi bentukan Jepang
itu, Amir ditugaskan menjadi delegasi Sumatera bersama Teuku Mohamad Hassan dan
Mr. A. Abas. Semula Amir dicalonkan menjadi Gubernur Sumatera, namun dia
menolak. Akhirnya yang menduduki jabatan Gubernur Sumatera adalah Teuku Mohamad
Hassan, dengan Amir sebagai wakilnya. Amir juga menjadi menteri negara pada
Negara Republik Indonesia.
Pada Maret 1946, terjadi kekacauan
besar-besaran di banyak negara kerajaan di Sumatera. Bangsawan, cerdik pandai,
petinggi, dan rakyat dari kesultanan-kesultanan Islam di Sumatera Timur
dibantai. Banyak negara kerajaan ini yang kemudian hilang berkalang tanah
bersisa adat. Di Asahan, misalnya, pernah disebutkan korban mencapai 15 ribu
jiwa. Dan Langkat, tempat dimana Amir bekerja, adalah yang paling parah.
Pendeta Juandaha Raya Purba Dasuha,
dalam artikel berjudul “Revolusi Sosial Berdarah di Simalungun Tahun 1946”,
menyebutkan siapa otak dibalik serangkaian pembantaian bengis yang luar biasa
di Sumatera Timur. Mereka adalah “Markas Agung yang dilaksanakan Volksfront
dengan pimpinan utama Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M. Saleh
Umar, Nathar Zainuddin, dan Abdul Xarim MS yang bekerja di balik layar. Laskar
yang berperan dalam aksi ini adalah Pesindo, Napindo, Ken Ko Ku Tui Sin Tai
(Barisan Harimau Liar), Barisan Merah (PKI), Hizbullah, dan didukung buruh Jawa
dari perkebunan serta kaum tani.”
Akan tetapi, tidak begitu jelas
mengenai keberpihakan dr. Amir. Di sejumlah literatur, disebutkan bahwa dia
turut mengatur perjalanan Gubernur Sumatera, Teuku Mohamad Hassan, ke luar
Sumatera Timur untuk memudahkan pemusnahaan negara-negara kerajaan. Tapi, di
literatur lain, Amir disebutkan bahwa penyerangan itu justru membuat Amir
hengkang dari Sumatera Timur ke banyak tempat, seperti Sabang, Gorontalo, Palu,
Makassar, dan Belanda.
Tulisan Dr. J. J. van de Velde
mengenai Amir kurun 1945-1946 ini dikirimkan oleh Tengku Mansoer Adil
Mansoer di Belanda dalam bahasa Belanda dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu/Indonesia oleh Anna Kharisma dari Sastra
Belanda Universitas Indonesia.
“Sumatra, Peristiwa Selanjutnya”
Dan dr. Amir bercerita lebih lanjut:
Dan dr. Amir bercerita lebih lanjut:
Perubahan menuju hubungan dengan
orang-orang Inggris dimulai segera ketika Jendral Christison pada awal Desember
(1945) datang ke Sumatra (Medan dan Padang) menghadiri sebuah pertemuan yang
diselenggarakan oleh para pemimpin republik dan orang-orang Belanda yang
berwenang. Jendral Christison melaporkan pembentukan kabinet Sjahrir. Di antara
para pemimpin di Medan terlontar pertanyaan kenapa orang-orang Inggris
diikutsertakan. Hassan menjawab bahwa pemerintah Sumatra sendiripun didukung
oleh orang-orang Inggris dari belakang, tetapi dalam kebijakan politik kabinet
Sjahrir mereka tidak memiliki bagian. Seminggu setelah itu diadakan
transportasi perjalanan tiga orang. Hal itu untuk membiasakan para pemimpin di
Sumatra dengan kabinet dan fungsinya masing-masing.
Pada waktu itu Amir pergi ke Medan
sebagai gubernur. Karena Hassan membawanya pada saat Hassan berkunjung ke Aceh,
tanah kelahirannya. Para pemimpin tersebut meminta empat buah tempat dan
mendapatkannya. Setelah itu mereka pergi ke Jawa. Mereka kecuali Dr. Amir
sendiri, Mr. Luat Siregar, Dr. Mohamad Djamil, presiden Komite Nasional
Medan dan Padang, dan juga Djamaroedin Adi Nugroho, Komisaris
Permasalahan-Laison te Fort de Kock. Tiga minggu mereka habiskan di sana.
Ini adalah kontak pertama mereka dengan pemerintah republik yang sebenarnya.
Dan terutama dengan Shahrir sebagai perdana menteri. Mereka bersama-sama
merupakan bagian dari kabinet.
Kemudian pengalaman yang dirasakan
adalah dalam hal banyaknya pandangan yang sangat instruktif. Apa yang mereka
keluhkan adalah betapa Jawa mengambil alih perhatian pemerintah. Hal ini
memberikan mereka begitu banyak peranan, ketika yang lain tidak benar-benar
memenuhi syarat. Pada saat itu belum pernah ada satupun kantor untuk luar daerah
yang didirikan. Dalam pandangan Sumatra, Batavia tidak lebih dari sebuah
provinsi, seperti halnya provinsi yang lain.
Pertemuan dengan para anggota
kabinet memberikan banyak kejutan. Pertama, orang-orang Sumatra menetapkan
posisi politik mereka yang moderat. Bahkan, Sjahrir dan Amir Sjarifoedin
menjadi orang-orang yang kuat di dalam kabinet. Anggota-anggota yang lain
merupakan bagian dari orang-orang yang bagus, namun sebagai anggota
pemerintahan mereka hanya menggantungi hal tersebut begitu saja.
Hal itu pastinya tidak seperti yang
dipikirkan atau diharapkan oleh para pengunjung (tamu) dari Sumatra.
Perjalanan mereka tidak bermaksud
untuk membangkitkan, setelah di Sumatra sendiri disuarakan penolakan.
Orang-orang menyalahkan keempat orang tersebut yang telah pergi ke Jawa dengan
menggunakan sebuah pesawat Inggris. Orang-orang yang berperang melawan inggris,
maka mereka tidak menggunakan jasa musuh (jasa orang-orang Inggris).
Tapi ada juga alasan yang lebih
dalam, yaitu alasan politik. Banyak orang mempercayakan dalam lajunya sendiri
untuk Sumatra. Oleh karena itu menjadi sangat dibutuhkan, melalui sebuah
konferensi pers, pernah dibuat dengan pasti sebuah keadaan yang baik,
ketenangan dari ketidakpuasan.
Gambar ini berada dalam halaman
“Sumatra, Peristiwa Selanjutnya” dalam buku Brieven uit Sumatra, 1928 – 1949
(1982) (Surat-surat dari Sumatera, 1928 – 1949) karya Dr. J. J. van de Velde.
Para perwakilan dari Sumatra
memiliki kesempatan bersama Soekarno untuk menemani dia di perjalanan pada
bulan Desember ke Jawa dan Jawa Timur. Ini adalah tur besar pertama presiden
dan selusin wartawan asing juga ikut serta. Tujuan dari tur itu, selain kontak
dengan empat pemerintahan sendiri di negara berdaulat, pangreh praja (BB)
Komite Nasional dan masyarakat umum, terutama untuk membangun koordinasi antara
pemerintah, tentara (TRI) dan para pasukan tentara (Laskar Rakyat). Bahkan TRI
menaati namun hanya sebatas perintah dari pemerintah. Sukarno sangat senang
dengan hasil konferensi tersebut. Namun semua pembicaraan tidak bisa mencegah
bahwa situasi tetap genting. Mr. Amir kembali dengan kesan tidak baik dari
disiplin di Jawa. Kembali dalam perjalanan, dengan Soekarno dan Sjahrir,
mengirimkan orang-orang ke dunia luar. Harus ada orang yang mendapatkan kontak
dengan dunia luar. Namun pemikiran tersebut bertemu dengan pertimbangan,
dibutuhkan kerjasama dengan orang-orang Belanda dan Inggris untuk mendapatkan
kontak dengan dunia luar, dan karena alasan itu orang-orang tidak lagi
bertanya-tanya.
Orang-orang Sumatra sangat tidak
puas dengan apa yang mereka amati di Jawa. Mereka memperhatikan dengan seksama
bahwa orang-orang di Jawa sudah tidak suka dengan mereka. Mengapa mereka tidak
berperang dengan orang-orang Belanda dan Inggris, seperti yang terjadi di Jawa?
Orang-orang telah menantikan hal ini dari mereka dan tidak mengerti mengapa hal
itu tidak terjadi.
Sjarifoedin sendiri mengirim enam
puluh orang ke Sumatra. Tidak ada orang yang menanyakan tentang utusan ini ke
Medan. Medan tidak ingin tahu tentang ‘Surabaya’ yang terletak di sebuah pulau.
Tapi apa yang telah disebutkan oleh siaran sebelumnya sama sekali tidak
benar-benar seperti yang sesungguhnya. Keenam puluh orang tersebut memiliki
sebuah metodologi revolusi yang harus diajarkan, menurut Sjarifoedin. Mereka
sama sekali tidak memiliki instruksi untuk sampai melakukan
pemprovokasian/penghasutan. Tetapi mereka tetap melakukannya tanpa instruksi,
karena mereka adalah agitator yang sengit. Medan sendiri merupakan salah satu
yang sejauh ini berhasil dalam menghindari bentrokan di daerah sekutu. Tentu
saja terkadang pernah terjadi bentrokan. Namun hal tersebut tidak lebih dari
sebuah insiden, kejahatan perorangan, seperti melemparkan sebuah granat atau
sesuatu yang seperti itu. Perlawanan sistematis tetap gagal. Keberuntungan kami
adalah para pemuda bersenjata, kata Dr. Amir.
Saat itu di Pidie, Aceh, pada awal
Januari 1946, neraka tercipta. Di seluruh negeri terjadi perlawanan teror liar
terhadap pemerintah mereka sendiri. Ada lebih dari seratus, dan hanya sedikit
yang selamat dari pembantaian. Kerusuhan itu terjadi, karena ada keluarga
hulubalang yang dibunuh.
Fanatisme agama, yang menjadi
karakter yang tidak normal di Aceh, berada di balik gerakan tersebut. Terutama
adalah Poesa (Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh), kelompok agama, di mana kaum
intelektualnya tidak mendapatkan peran, yang akhirnya dengan cara ini
memberontak. Posisi dari pemerintahannya sendiri selama tahun-tahun pendudukan
sudah sulit. Orang Jepang tidak pernah mengakui hak-hak mereka. Telah
ditunjukkan pada mereka bahwa Jepanglah pejabatnya, dan tidak ada korelasi
antara hulubalang dan wilayahnya, dan hal itu bisa membuat mereka, seperti yang
lainnya, dipindahkan.
Orang Jepang tidak terlalu memahami
situasi di Aceh. Mereka datang dari Malaka, yang mana sebagai contoh mereka
tidak perlu berurusan dengan kaum intelektual. Mereka sedikit menarik diri dari
keseluruhan penduduk Sumatra Utara, namun berurusan dengan mereka dalam waktu
yang sangat singkat, termasuk pemerintahannya.
Orang-orang Aceh sendiri pun telah
menyiapkan rencana ketika Jepang mendekat, sebuah peran yang tidak biasa.
Segera mereka bisa memiliki delegasi yang mereka kirim ke Pinang untuk
menanyakan orang-orang Jepang yang ada di sana untuk datang. Itu bukanlah
kontak yang pertama. Karena dulu sudah ada hubungan yang terjadi antara Aceh
dan Jepang. Hal ini terjadi di bawah pimpinan kapten Jepang, Masubusi. Pemimpin
dan mata-mata telah siap melayani musuh. Aceh telah lama menjadi sebuah
kekacauan, seperti yang bisa diharapkan orang-orang. Pada tahun 1946 meluaplah
kekacauan Aceh.
Saat itu Aceh tidak lagi pro-Jepang.
Setelah kapitulasi Jepang terjadi pertempuran berdarah antara revolusioner Aceh
dan pasukan Jepang. Juga dimana-mana bermunculan kejadian yang sama. Sebuah
pembantaian besar yang dikarenakan Jepang mengambil alih Tebing Tinggi dari
orang-orang Indonesia. Di Tapanuli dan Minangkabau kadang-kadang terjadi
pembunuhan tentara Jepang oleh rakyat.
Sekarang mari kita kembali ke pantai
timur Sumatra, dengan para sultan dan rajanya. Warna lembut ini mengakui saat
bendera republik diangkat pada bulan Oktober. Hanya sultan dari Serdang yang
segera turut serta. Ia selalu memperlihatkan dirinya berteman dengan Jepang,
dan ia juga menikmati kepercayaan mereka, sementara mereka memangkas kekuasaan
Belanda.
Sedangkan terjadi keprihatinan saat
pengangkatan bendera republik: Deli ragu-ragu pada awalnya, dan Langkat
dan Asahan menolak.
Juga ada pemerintah lokal yang
sangat jelas bermain di dua sisi. Mereka menolak ambil bagian untuk
mengantisipasi pendaratan Sekutu. Tetapi di sisi lain mereka membantu finansial
republik secara rahasia.
Hassan berdiri tidak pasti dengan
semua ini. Ia sendiri merupakan anak dari pemerintah lokal. Tapi akhirnya
muncullah kemudian sultan besar; sebuah konferensi persatuan sultan dengan
Hassan dan Amir didirikan. Dengan demikian para sultan menyatakan bahwa dirinya
sendiri yang akan mengatur sistem, yang mana daerah mereka, dalam hubungan
perserikatan federatif, tetap akan independen di bawah komisaris tinggi,
sebagai bagian dari provinsi Sumatra.
Bagi kelompok ekstrimis diskusi ini
membangkitkan kemarahan yang pahit. Mereka melawan Amir dalam cara yang luar
biasa, sebuah teguran sengit yang mereka buat. Menurut mereka semua
jelas para sultan harus dihapuskan.
Pada akhir Febuari (1946) Dr. Amir
masih mengunjungi Sultan Asahan dan Raja-Raja Siantar.
Tidak ada indikasi ketika
pemberontakan segera terjadi terhadap pemerintahan lokal sendiri. Tanda pertama
dari apa yang terjadi adalah sejumlah makian bagi Sultan Siak dari luar istananya
sendiri. Dia telah menyatakan dirinya siap untuk bertindak. Kerusuhan di
selatan pantai timur meletus pada bulan Maret. Orang-orang menangkap pemerintah
lokal dan mereka diinternir dengan keluarga mereka. Para pria dipisahkan dari
wanita. Bagi para pemimpin republik di Medan, sangat sulit untuk mendapatkan
informasi mengenai hal itu. Dari orang-orang Jepang, mereka mendengar bahwa
pemerintah lokal Bila Koealoe dan Kotapinang beserta anak-anak mereka telah
dibunuh.
Sultan Asahan juga mendengar kabar
mengenai kerusuhan tersebut. Kemudian ia mencari perlindungan di garnisun
Jepang di Tanjung Balai, yang dia kemudian melakukan ekstradisi ke TRI Pematang
Siantar.