De atjehschevrouw, fier en depper,
was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste
onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en
doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster
van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van
den dood spuwde zij hem, den kaphe in het geizcht. (HC Zentgraaff, Atjeh).
POCUT Meurah Intan masih kokoh berdiri ketika serdadu khusus Belanda
dari Korps Marchausse (Marsose) menebas parang. Pocut masih menghunus rencong
ketika pedang menetak dua luka di kepalanya dan dua di bahu. Ia baru bertekuk
ketika pedang memutus otot tumitnya. Sungguh, ia perempuan perkasa.
Panglima perang perempuan yang
paling dicari kolonial Belanda itu roboh di tanah yang masih basah oleh sisa
hujan. Ia tak lagi berkutik, nanar menatap 18 serdadu yang dipimpin Letnan
Kolonel TJ Veltman. Nafasnya semakin besar. Tapi, rencong masih lekat di tangan
kanannya ketika darah mengucur membasahi pakaian.
Siang 11 November 1902 itu hening
sesaat. Pasukan Marsose diam menatap “singa perempuan” yang paling diburu itu
tak lagi bicara. Seorang sersan kemudian datang ke Veltman, meminta petunjuk
dari komandannya.
“Komandan, apakah saya harus
menembakkan satu peluru saja agar penderitaan perempuan ini cepat berakhir”.
“Dia sungguh tersiksa dengan
luka-lukanya,” kata sersan Marsose itu.
“Jangan. Apa kamu sudah gila…!”
Veltman membentak.
Perwira yang pernah menganjurkan
agar Pemerintah Hindia Belanda tidak membuang Pocut Baren ke Pulau Jawa ini
meminta anak buahnya menghormati Pocut Meurah Intan yang sudah tak berdaya.
Veltman ingin Pocut Meurah Intan ditemukan dan diselamatkan penduduk di Kampung
Biheu.
Pasukan Belanda meneruskan patroli,
membiarkan Pocut terkapar di lumpur.
Orang-orang di kampung, juga
beberapa keluarga, mengevakuasi Pocut ke sebuah rumah terpencil. Di sana ia
diobati. Bekas-bekas luka di tubuhnya diobati dengan antibiotik alami berupa
kotoran sapi. Saat itu tidak ada penduduk yang berani membeli obat-obat luka
berdosis tinggi ke apotek milik Belanda di Sigli, khawatir dicurigai. Pocut pun
melarang penduduk menghubungi dokter. Ia akhirnya melewati masa kritis.
Dua pekan setelah penyerangan itu,
pasukan Belanda mendengar kabar bahwa Pocut selamat dan kini disembunyikan oleh
warga Biheu di salah satu rumah penduduk. Belanda juga mengetahui Pocut sedang
menyiapkan balas dendam untuk membunuh seorang penduduk yang berkhianat dan
menyebabkan ia disergap Marsose hingga terluka parah.
Veltman, yang awalnya tidak percaya
Pocut Meurah Intan selamat dari penyerangan itu, memerintahkan dua peleton
pasukan untuk mengepung desa dan merazia penduduk. Niatnya bukan untuk membunuh
Pocut, tapi menangkapnya hidup-hidup untuk ditahan agar perempuan itu tidak
bisa lagi mengorbarkan semangat perlawanan kepada pengikutnya. Belanda langsung
menyerbu dari Keude Biheu. Rumah-rumah digeledah dan kemudian pasukan itu
menemukan Pocut. Perempuan itu terbaring lemah di balik tumpukan kain-kain tua.
Dengan satu perintah dari Veltman,
serdadu Belanda kemudian membopong tubuh Pocut Meurah Intan. Veltman tidak
mengizinkan satupun anggota pasukannya menyakiti Pocut, karena ia berencana
membawa perempuan perkasa itu ke berobat ke seorang dokter Belanda di Kota Sigli.
Pocut yang meringis kesakitan tak bisa melawan. Tapi, ia tegas menyatakan tak
akan membiarkan tubuhnya dijamah dokter Belanda itu.
“Aku tak akan mengizinkan tubuhku
disentuh kaphe Belanda”. Ia menyebut kolonial
Belanda sebagai kafir. Pocut bersikeras, tapi akhirnya luluh juga ketika TJ
Veltman menasehatinya dengan dengan bahasa Aceh.
Kisah perang tak seimbang yang
terjadi di Biheu, antara Padang Tiji dan Kota Sigli pada 11 November 1902, juga
tentang berakhirnya perlawanan Pocut Meurah Intan tersebut ditulis HC
Zentgraft, mantan serdadu Belanda yang kemudian meninggalkan militer dan
menjadi seorang wartawan.
Perjuangan Pocut
Dalam catatan Belanda, Pocut Meurah
Intan termasuk tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang paling anti-Belanda.
Ini di sebutkan dalam laporan perang “Kolonial Verslag” tahun 1905. Dalam
laporan itu disebutkan bahwa hingga awal tahun 1904 satu-satunya tokoh dari
kalangan kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap menentang Belanda adalan
Pocut Meurah Intan.
Pocut Meurah Intan puteri dari
keluarga bangsawan di Kesultanan Aceh. Ayahnya menjabat keujruen di
Biheue. Pocut Meurah merupakan nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan
keluarga Sultan Aceh. Ia juga biasa dipanggil dengan nama Pocut Intan Biheu.
Desa kelahirannya, Biheu, adalah sebuah kenegerian yang pada masa itu berada di
bawah Wilayah Sagi XXXI Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir
abad ke-19, kenegerian itu menjadi bagian wilayah XII Mukim; Pidie, Batee,
Padang Tiji, Kale dan Laweueng.
Suami Pocut Meurah Intan bernama
Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah.
Tuanku Abdul Majid adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada
mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang
Belanda, ia disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut,
pengganggu keamanan bagi kapal-kapal yang lewat di perairan wilayahnya. Sebutan
ini berkaitan dengan profesi Tuanku Abdul Majid sebagai pejabat kesultanan yang
ditugaskan mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee.
Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul
Majid, Pocut Meurah Intan memperoleh tiga putera, yakni Tuanku Muhammad yang
biasa dipanggil dengan nama Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku
Nurdin. Semangat perlawana kemudian diwariskannya pada putera-puteranya,
sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya
dan pejuang-pejuang Aceh lainnya.
Setelah berpisah dengan suaminya
yang telah menyerah kepada Belanda, Pocut Meurah Intan mengajak putera-puteranya
tetap berperang. Ketika pasukan Marsose menjelajahi wilayah XII Mukim Pidie dan
sekitarnya, dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, Pocut
Meurah Intan dan pasukannya berperang dengan cara gerilya. Dua di antara ketiga
puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, menjadi terkenal sebagai
pemimpin utama dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap Belanda. Mereka
menjadi bagian dari orang-orang buronan Marsose.
Pada Februari 1900, Tuanku Muhammad
Batee tertangkap oleh satuan Marsose Belanda di wilayah Tangse, Pidie. Pada 19
April 1900, karena dianggap berbahaya, Tuanku Muhammad Batee dibuang ke
Tondano, Sulawesi Utara.
Peningkatan intensitas patroli
Belanda juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Meurah Intan dan seorang puteranya
oleh pasukan Marsose di Biheu, dekat Padang Tiji. Dalam penyergapan itu, Pocut
terluka parah dengan dua bekas bacokan di kepala, dua di bahu dan otot tumitnya
ditebas hingga nyaris putus. Pocut selamat. Tapi, ia cacat seumur hidup.
Pocut Meurah Intan sembuh dari
sakitnya. Bersama anaknya, Tuanku Budiman, ia kemudian dijebloskan ke penjara
di Kutaraja (Banda Aceh), sedangkan Tuanku Nurdin yang lolos dari pengepungan
tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan
Laweueng dan Kalee.
Tapi sayang, pada 18 Februari 1905
Belanda berhasil menangkap Tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa
Lhok Kaju. Sebelumnya, Belanda telah menangkap isteri dari Tuanku Nurdin pada
Desember 1904, dengan harapan agar suami mau menyerah.
Setelah Tuanku Nurdin di tahan, ia
dikumpulkan dengan ibunya dan saudaranya, Tuanku Budiman, serta seorang
keluarga sultan bernama Tuanku Ibrahim. Mereka kemudian dibuang ke Gudang
Banyu, Blora, Jawa Timur. Ia meninggal dunia pada 19 September 1937 dan
dimakamkan di sana.
Nama Pocut Meurah Intan hingga kini
akrab di telinga masyarakat Blora. Warga di sana mengenalnya sebagai pahlawan
yang diasingkan.
Pemerintah Provinsi Aceh pernah
berencana memindahkan jasad Pocut ke tanah kelahirannya pada tahun 2001 silam.
Tapi, Rencana itu batal karena Pocut sebelumnya berwasiat bahwa dirinya lebih
senang dimakamkan di Blora. Wasiat itu pernah disampaikan Pocut kepada RM
Ngabehi Dono Muhammad, seorang penghulu dan sahabat Pocut di Blora. [Opie]