Dongeng Hari Kebangkitan Nasional
Taufik Abdullah (berdiri) dalam
diskusi buku "Malam Bencana 1965" di Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Foto: Christopel Paino.
“Lupakan kebangkitan nasional. Itu
hanya mitos yang sengaja dibikin.”
Taufik Abdullah, sejarawan Indonesia
yang juga Ketua Akademi Jakarta, mengatakan hal tersebut saat diskusi
buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional (2012) yang
diselenggarakan di Yayasan Obor Indonesia, Senin, (21/5), di Jakarta.
"strong> readmore</strong>.
"strong> readmore</strong>.
Taufik kembali menegaskan bahwa hari
kebangkitan nasional yang merujuk pada tahun berdirinya organisasi Budi Utomo,
yakni pada 20 Mei 1908, itu, pertama kali dipopulerkan oleh Ki Hajar Dewantara
40 tahun kemudian, yakni 1948.
“Saat itu terjadi revolusi sosial di
tanah Jawa. Dan Ki Hajar Dewantara mengusulkan, bagaimana kalau tanggal 20 Mei
1908 itu kita jadikan sebagai hari kebangkitan nasional. Dengan peringatan itu,
supaya orang tahu bahwa perjuangan kita tidak hanya tiga tahun saja, tapi sudah
sejak lama. Supaya kita bisa berhasil dalam revolusi sosial,” Taufik
menjelaskan.
Bahkan, menurut Taufik, organisasi
Budi Utomo yang dibentuk di tanah Jawa itu didirikan oleh anak-anak muda Jawa
yang sekolah di Stovia, Jakarta. Lalu beberapa bulan kemudian, perkumpulan
tersebut diambil alih oleh para priyayi, dan ketuanya sendiri ditunjuk oleh
Gubernur Jenderal Belanda pada saat itu.
”Inilah yang dijadikan mitos
nasional,” kata Taufik, saat di wawancarai LenteraTimur.com.
Taufik membandingkannya dengan kisah
ketika Muhammad Hatta masih menjadi mahasiswa di usia 26 tahun. Pada saat itu,
Hatta berucap kepada orang-orang Belanda bahwa jika Belanda bangga dengan
pahlawan-pahlawannya, maka pihaknya juga bangga dengan pahlawan-pahlawannya,
seperti Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro.
”Lha, memangnya Imam Bonjol
memikirkan Indonesia pada saat itu? Memangnya Pangeran Diponegoro berjuang
untuk Indonesia saat itu?” kata Taufik lagi.
Karena itu, lanjut Taufik, omong
kosong besar jika ada yang mengatakan Indonesia adalah warisan nenek moyang.
”Indonesia itu baru dibikin kemarin.
Cita-cita satu bangsa itu baru kemarin ini,” tandasnya dengan suara tinggi.
Mitos lainnya yang dianggap konyol
oleh Taufik Abdullah adalah ketika banyak yang menyebutkan bahwa Indonesia
dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Menurutnya itu tidak benar. Bahkan,
katanya memberi contoh, sampai pada awal abad 20, salah satu wilayah di
pedalaman Sulawesi tetap bersifat independen karena mempunyai raja dan
pemerintahan. Pun dengan daerah lainnya di Bali.
”Nah, ketika merdeka, masing-masing
menerjemahkan kemerdekaan itu. Penafsiran tentang apa makna merdeka itu
kemudian menjadi masalah,” ujar Taufik.
Belanda, kata dia, sangat menghargai
orang yang berpendidikan. Dia mencontohkan bahwa sebagian besar orang-orang
yang dibuang ke Boven Digul, Papua, adalah tamatan kelas lima Sekolah Dasar.
Sementara, Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir, karena berpendidikan, di pindahkan
ke Banda Naira. Pun dengan Soekarno.
Kejadian 1965
Terkait dengan peristiwa 1965, yang menjadi bahasan dalam diskusi buku ”Malam Bencana 1965” tersebut, Taufik dan tim penulis memandang bahwa tragedi tersebut merupakan persambungan dari dari tragedi-tragedi yang terjadi sebelumnya. Buku tersebut, yang terdiri dari dua jilid (dari tiga jiid yang direncanakan), membahas tentang kaitan peristiwa 1965 dengan aksi-aksi sebelumnya.
Terkait dengan peristiwa 1965, yang menjadi bahasan dalam diskusi buku ”Malam Bencana 1965” tersebut, Taufik dan tim penulis memandang bahwa tragedi tersebut merupakan persambungan dari dari tragedi-tragedi yang terjadi sebelumnya. Buku tersebut, yang terdiri dari dua jilid (dari tiga jiid yang direncanakan), membahas tentang kaitan peristiwa 1965 dengan aksi-aksi sebelumnya.
Seperti tertulis dalam buku jilid
kedua tersebut, disebutkan bahwa meski terjadi di sejumlah daerah, namun
sesungguhnya pembantaian terjadi dalam situasi lokal yang khas. Anti PKI
disebutkan sering kali hanya menjadi lapis atas dari motif yang sesungguhnya.
”Siapakah dalang dari peristiwa yang
mengenaskan itu? Ternyata memang peristiwa itu bisa diuraikan tetapi tak
selamanya dapat diterangkan dan dijelaskan,” tulis Taufik dan kawan-kawan pada
pengantar buku tersebut.
Di Sumatera, misalnya, yang terjadi
di Aceh dan Sumatera Utara, aksi pembantaian pada 1965 memiliki pertalian
dengan revolusi sosial. Begitu juga ia terkait dengan perang yang digelorakan oleh
Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (Sumatera) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Sulawesi) dengan Pemerintah Indonesia/Jakarta/Jawa pada 1958 – 1961.
Taufik mengatakan bahwa akan sulit
mencapai kebenaran karena indoktrinasi demi indoktrinasi terus dilakukan. Dan
buku ini bukan mempertentangkan kebenaran, tetapi tentang refleksi, tentang
kearifan.
”Zaman Sukarno kita diindoktrinasi,
zaman Suharto kita diindoktrinasi,” kata Taufik.
Karena itu, tambah Taufik, hanya ada
satu kebenaran yang selama ini ada, yakni kebenaran yang diberikan oleh negara.
”Kita berada pada suatu negara yang
serakah, yang tidak puas dengan kuasa politik, ekonomi, tapi juga ingin
menguasi pemikiran dan kesadaran. Akibat keserakahan ini, kita saling
bunuh-bunuhan,” ungkap Taufik.