Lawan Tangguh Pengasong Liberalisasi
Neng Djubaedah, SH MH
Pakar Hukum Islam
Pakar Hukum Islam
Sekitar tahun 2003, bertempat di
sebuah universitas ternama di Jakarta, diselenggarakan sosialisasi penelitian
berkaitan pelacuran anak. Di sesi tanya jawab, seorang peserta mengajukan
pertanyaan kepada salah seorang pembicara. “Bagaimana menurut Bapak jika
seorang perempuan mencintai perempuan?” tanya peserta itu kepada pembicara yang
ternyata aktivis Islam liberal. Dengan mudahnya, pembicara ini menjawab, “Allah
tidak melarang seseorang untuk jatuh cinta, juga Allah tidak melarang perempuan
jatuh cinta kepada perempuan. Maka berarti boleh.”
Sontak, jawaban itu membuat seorang
ibu di dalam ruangan itu terperangah. Usai acara, ibu tersebut menyapa
pembicara yang mengaku lulusan Al-Azhar, Mesir. “Umurmu berapa, Nak?” sapa si
Ibu. “26 tahun,” jawabnya.
“Nak, kau masih muda. Ibu ini memang
bodoh, tapi pendapatmu seperti itu membuat Ibu sedih,” ucap sang ibu. Ibu paruh
baya ini mengaku telah mengkaji al-Qur`an, dan dalam al-Qur`an ada sekitar 10
ayat yang melarang liwath (homoseksual). “Setahu saya dalam Hadits dikatakan
seorang perempuan yang melakukan hubungan senggama dengan perempuan akan
dibakar. Hanya saja mereka (kaum liberal) selalu mengatakan itu sebagai hak
asasi manusia,” katanya.
Ibu tersebut adalah Neng Djubaedah,
pakar hukum Islam. Belakangan Neng mengetahui bahwa pendapat serupa juga
disampaikan oleh para pengasong pemikiran liberal, seperti Musdah Mulia dan
Ulil Abshar Abdalla. Terang saja, wanita yang juga anggota Komisi Hukum dan
Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia Pusat ini pun semakin geram. Menurut
Neng, banyak persoalan hukum, terutama masalah keluarga dan perkawinan yang
dipengaruhi oleh pemikiran sekuler dan jauh dari landasan Islam. Menghadapi
pengaruh itu, Neng tak pernah sungkan untuk menghadapinya secara tegas.
Misalnya, saat wanita yang juga
dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) ini berhadapan dengan
Nursyahbani Kantjasungkana, SH. Aktivis LSM perempuan ini mengatakan poligami
itu haram, karena dianggap menginjak hak-hak perempuan. Mendengar hal itu, Neng
membantahnya. “Perempuan mana sih yang Ibu bela?” gugat Neng. Tidak hanya itu.
“Kalau misalnya istri itu sakit parah, tidak bisa disembuhkan. Kalau dilarang
poligami, apakah istri sakit ini harus diceraikan. Sudah sakit diceraikan pula.
Apakah tidak sebaiknya mengizinkan suaminya untuk poligami?” tambahnya.
Gugatan itu, kata Neng, “Bukan
semata saya membela kaum pria, tapi saya membela hukum Allah. Pasti ada
hikmahnya Allah membolehkan pria untuk poligami.”
Neng menuturkan, banyak sekali
menemukan hukum Allah yang disepelekan melalui hukum buatan manusia, baik dalam
tataran wacana maupun yang diusulkan dalam rancangan undang-undang. “Beginilah
jadinya kalau umat Islam tidak memahami agamanya, meskipun mereka pemegang
kekuasaan, tapi syariat Allah ditentang,” ucap wanita kelahiran Pandeglang, 18
Agustus 1948 ini.
Pertangahan Juli lalu, Neng berkenan
menerima wartawan majalah Suara Hidayatullah, Ahmad Damanik, Mahladi, dan
fotografer, Muh Abdus Syakur di kediamannya Jariwaringin, Bekasi. Di rumah asri
itu, ia banyak bercerita tentang suka-duka dalam memperjuangkan hukum Islam di
Indonesia. Ia pun menceritakan tentang upaya MUI dalam menangani masalah
korupsi.
Berikut petikan wawancaranya.
Selamat membaca.*
Bisa Anda gambarkan bentuk penolakan
dari pihak-pihak yang tidak menyukai keluarnya Rancangan Undang-Undang Anti
Pornoaksi dan Pornografi (RUU APP) ?
Yang jelas-jelas tidak mendukung itu istrinya Sultan Yogyakarta dan istrinya Gus Dur, Ibu Shinta Nuriyah. Banyak lagi yang mengkritik, saya dianggap sok suci. Bahkan salah seorang senior saya ada yang mengatakan, “Mbak Neng, bikin undang-undang kok orang pacaran saja nggak boleh.”
Yang jelas-jelas tidak mendukung itu istrinya Sultan Yogyakarta dan istrinya Gus Dur, Ibu Shinta Nuriyah. Banyak lagi yang mengkritik, saya dianggap sok suci. Bahkan salah seorang senior saya ada yang mengatakan, “Mbak Neng, bikin undang-undang kok orang pacaran saja nggak boleh.”
Saya jawab, “Yang saya tahu memang
pacaran itu tidak boleh dalam Islam.” Lalu dia menyahuti, “Tapi ini bukan
negara Islam, Mbak Neng.”
Saya jawab lagi, “Ya saya tahu,
memang Indonesia bukan negara Islam, tapi penduduknya mayoritas Islam. Apakah
salah kalau saya mengajukan undang-undang seperti itu?”
Bagaimana dengan kalangan non
Muslim?
Mereka juga pernah menyatakan penolakan ke saya, waktu saya diminta menjadi narasumber Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR pada Januari 2006. Salah satu tokoh agama tertentu di situ bilang ke saya, “Cukuplah Ibu Neng, tidak usahlah buat RUU itu, sudah cukup dari KUHP.”
Mereka juga pernah menyatakan penolakan ke saya, waktu saya diminta menjadi narasumber Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR pada Januari 2006. Salah satu tokoh agama tertentu di situ bilang ke saya, “Cukuplah Ibu Neng, tidak usahlah buat RUU itu, sudah cukup dari KUHP.”
Langsung saya jawab, “Pak, kalau
memang KUHP itu cukup, kenapa kok semakin marak (pornografi dan pornoaksi).”
Dia bilang, “Itu karena penegakannya.”
Saya bantah lagi, “Tidak bisa
begitu, aturan KUHP itu tidak menjerat pelaku dari pornografi, hanya yang
menyebarkan saja. Kalau tidak ada pelaku, apa yang akan disebarkan.”
Menurut Anda dari sekian banyak UU,
adakah yang paling menjadi keprihatinan Anda sehingga layak diperjuangkan untuk
diubah?
Ada, terutama masalah kekeluargaan, misalnya tentang UU PKDRT (Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Undang-undang itu perlu keberanian kita untuk mengubahnya.
Ada, terutama masalah kekeluargaan, misalnya tentang UU PKDRT (Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Undang-undang itu perlu keberanian kita untuk mengubahnya.
Mengapa demikian?
Dalam UU itu, kalau ada pembantu dan majikan melakukan zina karena suka sama suka tidak dilarang. Pelacuran kalau kehendak sendiri juga tidak apa-apa. Yang tidak boleh kalau pelacuran diperdagangkan. Sementara dalam KUHP, pelacuran tidak ada larangan, yang dilarang germonya. Juga, banyak hukumannya yang membingungkan.
Dalam UU itu, kalau ada pembantu dan majikan melakukan zina karena suka sama suka tidak dilarang. Pelacuran kalau kehendak sendiri juga tidak apa-apa. Yang tidak boleh kalau pelacuran diperdagangkan. Sementara dalam KUHP, pelacuran tidak ada larangan, yang dilarang germonya. Juga, banyak hukumannya yang membingungkan.
Maksud Anda membingungkan bagaimana?
Ada pasal tentang kekerasan seksual. Jadi, kalau suami memperkosa istri atau sebaliknya, hukumannya 12 tahun penjara. Sementara perzinaan menurut KUHP Pasal 284 hukumannya 9 bulan. Sampai-sampai saya pernah menulis sebuah artikel di masa pembahasan itu, membandingkan antara KUHP pasal 284 dan RUU KDRT tentang hukuman terhadap suami yang minta diladeni oleh istri atau sebaliknya, dengan hukuman berzina. Saya katakan, “Bapak-bapak DPR lebih baik berzina saja karena hukumannya cuma 9 bulan. Kalau Bapak memaksa istri meladeni, lalu istrinya mengadu, itu hukumannya 12 tahun.”
Ada pasal tentang kekerasan seksual. Jadi, kalau suami memperkosa istri atau sebaliknya, hukumannya 12 tahun penjara. Sementara perzinaan menurut KUHP Pasal 284 hukumannya 9 bulan. Sampai-sampai saya pernah menulis sebuah artikel di masa pembahasan itu, membandingkan antara KUHP pasal 284 dan RUU KDRT tentang hukuman terhadap suami yang minta diladeni oleh istri atau sebaliknya, dengan hukuman berzina. Saya katakan, “Bapak-bapak DPR lebih baik berzina saja karena hukumannya cuma 9 bulan. Kalau Bapak memaksa istri meladeni, lalu istrinya mengadu, itu hukumannya 12 tahun.”
Menurut Anda, mengapa kita yang mayoritas
Muslim dan pembuat keputusan juga Muslim, tapi seolah kita tidak berdaya?
Mereka bukan tidak tahu agama. Mereka tahu dan pintar-pintar. Tapi mereka tidak melaksanakan agama dengan sungguh-sungguh, karena hedonisme, permisifisme, dan sekulerisme itu sudah tertanam dalam jiwanya. Sehingga mereka menganggap hukum Allah itu tidak ada. Padahal, Allah selalu mendengar apa yang kita bicarakan. Masalah liwath, gay dan lesbian mereka bukannya tidak tahu. Mereka memperturutkan hawa nafsu. Terlebih pandangan Islam Liberal yang menganggap itu boleh.
Mereka bukan tidak tahu agama. Mereka tahu dan pintar-pintar. Tapi mereka tidak melaksanakan agama dengan sungguh-sungguh, karena hedonisme, permisifisme, dan sekulerisme itu sudah tertanam dalam jiwanya. Sehingga mereka menganggap hukum Allah itu tidak ada. Padahal, Allah selalu mendengar apa yang kita bicarakan. Masalah liwath, gay dan lesbian mereka bukannya tidak tahu. Mereka memperturutkan hawa nafsu. Terlebih pandangan Islam Liberal yang menganggap itu boleh.
Sejauhmana pemikiran mereka
(kalangan liberal) masuk dalam perundang-undangan di Indonesia?
Selain pemikiran Nursyahbani Kantjasungkana dan pemuda tadi, saya juga pernah dihadapkan dalam sebuah forum dengan Musdah Mulia atas prakarsa Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta. Waktu itu, Musdah Mulia membela kawin mut’ah (kawin kontrak). Dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam buatan Musdah diperbolehkan perkawinan berdasarkan perjanjian, dan kalau sudah sampai pada batas perjanjian bisa diperpanjang lagi.
Selain pemikiran Nursyahbani Kantjasungkana dan pemuda tadi, saya juga pernah dihadapkan dalam sebuah forum dengan Musdah Mulia atas prakarsa Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta. Waktu itu, Musdah Mulia membela kawin mut’ah (kawin kontrak). Dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam buatan Musdah diperbolehkan perkawinan berdasarkan perjanjian, dan kalau sudah sampai pada batas perjanjian bisa diperpanjang lagi.
Waktu itu saya pertanyakan kepada
Musdah, alasannya apa Anda membela itu? Dia jawab, “Itu kan realitas dalam
masyarakat.”
Saya tanya lagi, “Perempuan yang
mana sih yang Ibu bela? Kalau perempuan dengan perjanjian, kemudian sampai
habis menikah lagi, apakah itu termasuk perlindungan terhadap perempuan.”
Apa yang Anda lakukan untuk
menandingi mereka dalam menggolkan pemikiran liberal dalam perundang-undangan?
Rencana sudah ada, dengan mengumpulkan dosen-dosen hukum Islam dari seluruh Indonesia. Tapi terus terang untuk melaksanakannya tidak mudah. Saya sudah mendiskusikannya dengan anak saya yang juga doktor di FH UI. Jadi sekarang ini masih dalam rencana saya. Tapi itu sudah saya lakukan secara pribadi.
Rencana sudah ada, dengan mengumpulkan dosen-dosen hukum Islam dari seluruh Indonesia. Tapi terus terang untuk melaksanakannya tidak mudah. Saya sudah mendiskusikannya dengan anak saya yang juga doktor di FH UI. Jadi sekarang ini masih dalam rencana saya. Tapi itu sudah saya lakukan secara pribadi.
Sikap Anda terhadap RUU Keadilan dan
Keseteraan Gender (KKG)?
Mati-matian saya menentangnya. Di hadapan DPR saat RDPU pada 15 Maret 2012, saya katakan kalau orang boleh bebas memilih sebagai suami atau istri, lantas siapa sebagai suami dan siapa sebagai istri? Itu harus jelas; laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Sebab kita tidak menutup mata, banyak juga yang laki-laki berstatus sebagai istri dan ada juga perempuan berstatus sebagai suami. Berarti ini artinya diperbolehkannya perkawinan sejenis.
Mati-matian saya menentangnya. Di hadapan DPR saat RDPU pada 15 Maret 2012, saya katakan kalau orang boleh bebas memilih sebagai suami atau istri, lantas siapa sebagai suami dan siapa sebagai istri? Itu harus jelas; laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Sebab kita tidak menutup mata, banyak juga yang laki-laki berstatus sebagai istri dan ada juga perempuan berstatus sebagai suami. Berarti ini artinya diperbolehkannya perkawinan sejenis.
Selain itu apalagi yang Anda
katakan?
Yang jelas, kalau RUU ini menjadi undang-undang berarti melanggar hak asasi dan hak konstitusional saya. Jelas ini melanggar, terutama pasal 28i ayat 1, yaitu hak beragama saya.
Yang jelas, kalau RUU ini menjadi undang-undang berarti melanggar hak asasi dan hak konstitusional saya. Jelas ini melanggar, terutama pasal 28i ayat 1, yaitu hak beragama saya.
Bagaimana di tingkat MUI Anda menjelaskan
tentang bahaya RUU tesebut?
Saya juga sempat presentasikan hal tersebut di internal MUI dengan menggunakan sekitar 22 peraturan perundang-perundangan dan 8 fatwa MUI yang terkait dengan RUU KKG. Selama ini fatwa itu tidak pernah diutak atik, sekarang saya jadikan rujukan. Alhamdulillah, penjelasan saya membuka mata para pengurus lainnya untuk menolak RUU KKG.
Saya juga sempat presentasikan hal tersebut di internal MUI dengan menggunakan sekitar 22 peraturan perundang-perundangan dan 8 fatwa MUI yang terkait dengan RUU KKG. Selama ini fatwa itu tidak pernah diutak atik, sekarang saya jadikan rujukan. Alhamdulillah, penjelasan saya membuka mata para pengurus lainnya untuk menolak RUU KKG.
Bagaimana kelanjutan dari fatwa MUI
soal pengentasan korupsi?
Saya kira harus jadi undang-undang, paling tidak fatwa tersebut bisa dijadikan sumber hukum, walaupun memang agak susah. Salah satu peluangnya adalah melalui hakim tipikor agar merujuk ke fatwa tersebut. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat terhadap fatwa tersebut.
Saya kira harus jadi undang-undang, paling tidak fatwa tersebut bisa dijadikan sumber hukum, walaupun memang agak susah. Salah satu peluangnya adalah melalui hakim tipikor agar merujuk ke fatwa tersebut. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat terhadap fatwa tersebut.
Nah, bukankah itu yang menjadi
kelemahannya, seringkali masyarakat tidak tahu?
Itu juga yang saya sayangkan, harusnya MUI daerah mensosialisasikan fatwa bersama LSM setempat.
Itu juga yang saya sayangkan, harusnya MUI daerah mensosialisasikan fatwa bersama LSM setempat.
Sekelompok masyarakat mengusulkan
hukuman korupsi dengan hudud. Menurut Anda?
Itu sangat tepat, seperti dengan cambuk di depan masyarakat agar membuat efek jera. Saya sangat setuju.
Itu sangat tepat, seperti dengan cambuk di depan masyarakat agar membuat efek jera. Saya sangat setuju.
Tapi nyatanya banyak juga yang
menolak, karena hudud identik dengan syariat Islam?
Orang yang mengaku dirinya Islam lalu tidak setuju dengan hukum hudud, saya kurang pas dengan orang demikian. Saya yakin Allah Maha Benar. Kalau hanya sekadar pemiskinan, menurut saya hanya mengambil kembali hak orang lain yang ada pada dia.
Orang yang mengaku dirinya Islam lalu tidak setuju dengan hukum hudud, saya kurang pas dengan orang demikian. Saya yakin Allah Maha Benar. Kalau hanya sekadar pemiskinan, menurut saya hanya mengambil kembali hak orang lain yang ada pada dia.
* SUARA HIDAYATULLAH SEPTEMBER 2012